SENI DALAM ILMU
Tulisan ini dibuat untuk merespon
tulisan ”Seni Dalam Semesta Pola
(perspektif pelaku seni yang secara konsensus dianggap pengangguran)”
oleh Soerawan, S.Sn. Dalam
tulisannya, Soerawan mengatakan terdapat tiga pola yang secara tidak sadar
terbentuk dalam perspektif pelaku seni (musik). Pertama, sebagai pengkarya atau pencipta seni. Kedua, sebagai seorang peneliti seni. Terakhir, ketiga, sebagai
penikmat seni. Ketiga aspek tersebut dijelaskan dengan bahasa yang ringan oleh
saudara Wawan
(panggilan akrabnya).
Sebagai seorang yang bisa
dikatakan akademisi seni, saya akan berusaha dengan keras untuk sedikit
memaparkan secara garis besar bagaimana seorang peneliti musik dapat menemukan
eksistensinya di tengah masyarakat, walaupun hasil tulisannya mungkin tidak
begitu penting di
masa pandemi ini. Harapanya juga tulisan ini dapat membuka pola pikir
seorang akademisi seni musik yang barangkali tengah bingung dalam mengimplementasikan
ilmu yang mereka dapat di dunia pendidikan formal (kampus).
Untuk menjadi peneliti musik,
tentu tidak bisa dengan mudah begitu saja dalam mencapainya. Pekerjaan
penelitian itu tentu harus dilandasi dengan berbagai macam ilmu pengetahuan.
Seperti dalam tulisan Soerawan, dalam melakukan penelitian harus memiliki
perbendaharaan teori sebagai tools
yang digunakan untuk mengkaji suatu seni musik. Di Indonesia beberapa daerah
terdapat sistem pendidikan formal yang dapat menaungi seseorang untuk menjadi
seorang peneliti musik (akademisi musik). Beberapa
jurusan yang dapat dipilih untuk menjadi seorang akademisi seni yang
bersentuhan langsung pada ranah seni musik seperti jurusan Musikologi dan Etnomusikologi.
Kiranya dua jurusan itu yang sangat ideal untuk menjadi peneliti musik.
Pertama saya akan menjelaskan
secara enjoy mengenai apa itu Musikologi, merupakan suatu ilmu untuk
mengkaji musik dalam perspektif barat. Pengkajian musik dilakukan dengan meneliti
struktur komposisi musiknya. Hal-hal yang meliputi unsur musik sendiri yaitu
seperti ritme, melodi, birama, tangga
nada, harmoni tempo, dinamik dan timbre.
Nah, istilah atau bahasa musik yang saya sebutkan merupakan istilah yang
disepakati secara universal. Artinya, seluruh kajian dalam ilmu musikologi menggunakan istilah dan
definisi dalam sudut pandang budaya barat.
Antropologi dan musikologi,
banyak yang sepakat apabila dua disiplin ilmu ini digabungkan akan menjadi Etnomusikologi. Lagi-lagi saya akan
menjelaskannya secara enjoy mengenai
apa itu etnomusikologi, merupakan
disiplin ilmu yang mengkaji suatu budaya etnis masyarakat dalam konteks musik.
Mulanya, studi ini bernama musikologi komparatif,
studi perbandingan musik. Dinilai tidak lagi sesuai, maka berubah menjadi etnomusikologi yang di dalamnya
terdapat pendekatan kajian antropologi dan
musikologi. Bukan hanya itu, kajian
dalam etnomusikologi sangat multi
disiplin. Artinya, banyak disiplin lain yang dapat diterapkan dalam kajian etnomusikologi.
Sebagai peneliti musik yang
berdomisili di negara Indonesia,
kiranya dari kedua disiplin musikologi dan
enomisikologi, manakah yang lebih
ideal/cocok/klop untuk mengkaji musik
yang ada di Indonesia?
(tulisan selanjutnya merupakan pengamatan ”subjektif” penulis)
Disiplin ilmu musikologi ini akan lebih ideal/cocok/klop apabila pemilihan objek dan konteks
kajiannya digunakan untuk meneliti musik-musik barat, bukan berarti tidak dapat
digunakan untuk meneliti musik yang ada di Indonesia. Budaya bermusik di
Indonesia juga sudah banyak campur baur dengan budaya bermusik barat, bahkan
budaya bermusik barat itu sendiri sudah diterapkan dalam budaya bermusik di
Indonesia. Misalnya seperti musik Jazz, Raggae, Blues, dan Rock yang dapat dijadikan objek kajian. Yaa berarti itu sama saja mengkaji musik barat yang ada di
Indonesia. Yeah!
Bagaimana kalau objek kajiannya
musik tradisi? yaitu
musik tradisi yang dapat dibaca dalam perspektif barat. Sederhananya, mempunyai
unsur-unsur musikal yang dapat ditranskrip oleh Barat. Musik tradisi yang seperti ini biasanya merupakan
produk baru dari budaya musik tradisi atau musik tradisi yang sudah terkontaminasi
dengan idiom musik barat. Kajian musikologi seperti ini biasanya disandingkan
dengan disiplin ilmu lain seperti antropologi.
Hal yang menarik dari budaya
bermusik di Indonesia terdapat pada budaya musik tradisional. Karena Indonesia
memiliki budaya yang beragam dari sabang hingga merauke yang hampir setiap
etnis masyarakatnya menghasilkan produk budaya berupa musik yang biasa disebut
musik tradisi. Tentu hal ini akan menjadi lahan basah bagi para peneliti musik.
Disiplin yang mampu merangkum kajian-kajian musik tradisi ini yaitu etnomusikologi. Alasan yang paling kuat
karena etnomusikologi dapat bersandingan dengan
disiplin lain seperti Sejarah, Psikologi, Sosiologi,
Fisiologi, Filsafat bahkan Fisika yang dapat
merangkum kajian-kajian musik tradisi.
Baik, di atas tadi
sedikit pemaparan penulis tentang peneliti musik dalam konteks akademisi seni
dan disiplin ilmu yang terkait pengkajian musik. Harapannya para pembaca dapat
mengerti bahwa akademisi seni dalam lingkup disiplin ilmu etnomusikologi dan musikologi
diciptakan untuk mencetak para peneliti musik, bukan praktisi musik. Karena
masih saja terdapat stigma “kalau kuliah
musik berarti nanti jadi pemain musik”.
Eksistensi akademisi seni (peneliti musik) di tengah masyarakat.
Pembahasan akan lebih kepada studi etnomusikologi.
Keberadaan studi etnomusikologi bukan hal yang baru di
Indonesia. Studi ini pertama kali dibuka di Universitas Sumatera Utara pada
tahun 1979. Artinya, sudah sejak 40 tahun yang lalu para pendiri studi ini
memikirkan potensi
musik tradisi yang ada di Indonesia. Tetapi, sampai saat ini masih saja
dipertanyakan eksistensi studi etnomusikologi
di tengah masyarakat. Apakah studi ini tidak begitu penting? (jawabannya
sesuai latar belakang keluarga).
Bukan hanya permasalahan
eksistensi, yang lebih rumit lagi ketika seorang etnomusikolog muda bingung dalam mengimplementasikan ilmu yang
didapat (bukan sekedar bikin skripsi), maksudnya ketika ia sudah menyelesaikan
masa kuliahnya (bingung mau jadi apa
?). Karena hal ini menyangkut masa depan, maka akan kita bahas dengan enjoy.
Orientasi studi Etnomusikologi yaitu menjadi seorang peneliti
dan pengkaji kebudayaan musik, pilihan lainnya yaitu pengajar Etnomusikologi (dosen). Dua pilihan ini
kiranya yang ideal untuk para Etnomusikolog. Mendapati fenomena di lapangan,
masih saja mahasiswa kebingungan ketika sudah menyelesaikan studi mereka
(kirain bakal hebat main musik, tapi gak hebat-hebat juga). Pertanyaannya,
kenapa itu bisa terjadi
?, faktor yang
ingin penulis ungkap yaitu, sistem pendidikan yang ada tidak mampu mencetak
mahasiswa untuk menjadi seorang Etnomusikolog sejati (peneliti musik). Di sini
integritas seorang pengajar dipertaruhkan.
Seorang pengajar harusnya sudah
sangat paham dengan seluk beluk Etnomusikologi. Mereka dijadikan sebagai alat oleh institusi pendidikan untuk mencetak
produk manusia yang berkompeten dalam wilayah pengkajian musik. Sangat
disayangkan apabila seorang pengajar tidak mampu mengarahkan anak didiknya
untuk menjadi apa yang diharapkan studi ini. Bahkan ada pengajar yang
menggiring Mahasiswa
untuk menjadi seorang seniman musik (pemain musik). Dampaknya, identitas studi
ini menjadi abu-abu, apakah menjadi pemusik atau pengkaji musik (?), tentunya
ini bukan persoalan ringan. Dampak lanjutannya, studi Etnomusikologi yang dikenal akan mencetak para
praktisi musik yang ahli dalam bermain musik.
Pekerjaan sebagai peneliti musik
seakan menjadi asing di mata masyarakat atau bahkan dikalangan para Etnomusikolog muda. Padahal cita-cita para
pendiri studi Etnomusikologi 40 tahun lalu mencetak para akademisi seni yang mampu
menjadi penghubung “seni dalam ilmu”
di tengah-tengah
keberagaman masyarakat Indonesia.
Ditulis oleh Aang (Azhari Anhar) seorang Mahasiswa Jurusan Etnomusikologi sekaligus anggota Komunitas Muara Swara Art yang kerap kali bekerja sebagai kameramen dan editor konten-konten video Komunitas Muara Swara Art, aktif bekerja sebagai pelaku seni musik komersil dan non-komersil tergantung mood.
Komentar
Posting Komentar