BABAK BARU PERTUNJUKAN KESENIAN

 



Oleh Herman Mansa


"Kenyataan semakin eman dan daring semakin menggiring". Mungkin begitulah kalimat yang tepat menggambarkan pola kehidupan manusia di tengah pandemi yang sedikit sekali yang tahu namanya sudah berubah menjadi "pagebluk". Tapi, bukan perubahan kata yang akan coba saya ulik dalam celoteh kali ini. Saya lebih tertarik membicarakan pertunjukan kesenian yang saat ini saya nilai sedang pelan-pelan memasuki babak baru. Kok, bisa memasuki babak baru?.

Sekilas seperti biasa saja buat kamu-kamu yang tengah menikmati berbagai suguhan pertunjukan via daring. Kemudahan dan efisiensi tengah ditawarkan dunia pertunjukan saat ini, bagaimana tidak? Dengan bersantai ria di atas kasur atau sofa kesayanganmu sambil buka media sosial tidak jarang kamu menemukan pementasan kesenian yang sifatnya daring, tautan sudah disediakan dan kamu sudah dengan mudahnya menyaksikan pertunjukan tersebut (tentunya ada yang berbayar dan gratis).

Tapi, perlu diketahui-pastinya, betapa rumitnya pelaku seni berusaha mengikhlaskan dan memaksakan diri untuk melakukan pertunjukan daring ini (ini menurut saya pribadi). Pertunjukan kesenian sejatinya adalah sebuah pertunjukan yang melibatkan si penyaji dan si penikmat di suatu tempat yang sama, bangunan atmosfir pertunjukan turut mempengaruhi penonton lewat sajian-sajian spektakulernya. Tapi, apakah dengan berpindah medium dari luring ke daring juga menciptakan atmosfir yang sama, di sini jelas saya mengatakan, tidak.

Seolah-olah tidak ada pilihan lain

Bisa saja, pertunjukan kesenian secara langsung diadakan dengan menerapkan protokol kesehatan yang dianjurkan oleh pemerintah. Tetapi, faktanya aktivitas yang bersifat 'akbar' mengalami pembatasan. Sebagai contoh, di Samarinda mulai diterapkan jam malam (bukan jam shift satpam loh ya), jadi aktivitas warga dibatasi sampai jam 10 malam saja, kecuali malam minggu agak sedikit molor sampai jam 11 (virus juga paham hari libur).

Kalau pun pertunjukan kesenian secara langsung diadakan, justru hal ini sangat sulit diterapkan di Samarinda. Menurut pengalaman, biasanya ketika salah satu kelompok pertunjukan mengadakan pentas dan mengharapkan penonton untuk datang lebih cepat dari waktu pertunjukan, hasilnya pasti 'nihil besar', sebagian penonton pasti dengan 'santuy' datang lebih telat dari yang dijadwalkan, lalu mampukah pertunjukan secara langsung ini diterapkan saat ini?, jelas saya mengatakan, "tidak efektif".

Asumsi saya pribadi mengatakan bahwa atmosfir berkesenian di Samarinda selain ditentukan oleh pergerakan seniman-seniman yang ada di Samarinda-juga turut dipengaruhi oleh antusiasme penikmatnya dalam mengapresiasi kesenian tersebut. Tidak perlu mengapresiasi dalam bentuk pujian atau kritikan, turut dengan datang tepat waktu saja, itu sudah syukur, lalu bagaimana dengan model pertunjukan daring ini ?, panitia pelaksana pertunjukan selain memikirkan ketepatan waktu pertunjukan, tentu juga harus mempersiapkan hal-hal teknis di samping ketepatan waktu dimulainya sajian pertunjukan bukan ?.

Tidak ada pilihan lain, pertunjukan secara daring adalah opsi yang paling tepat untuk saat ini. Terlepas entah pertunjukan itu secara live atau non-live, tergantung pada pilihan-pilihan si penyaji itu sendiri (kalau-kalau ada solusi lain untuk berdamai dengan babak baru ini, justru akan sangat bagus).

Dulunya si penyaji sibuk mengatur konsep di lokasi pertunjukan agar gagasan demi gagasan tercapai di lapangan dan memuaskan rasa penasaran penonton, sekarang, justru penyaji sibuk mengatur konsep teknis kamera, jaringan internet, hasil audio di video, bagus-bagusan aplikasi editing video dan segala tetek bengeknya. Sampai-sampai saya dan juga teman-teman berpikir bagaimana kalau kita memanfaatkan metode VR untuk pertunjukan live?, tentu kamu-kamu pernah merasakan sensasi VR kan?. Dengan mengupload video pertunjukan di kanal Youtube dan mengaturnya dengan sedemikian rupa agar dapat ditonton menggunakan teknologi VR, mungkin agak sedikit menambah solusi. Tetapi, metode VR bukan metode yang membutuhkan biaya yang sedikit, justru akan sedikit lebih mahal tentunya, karena harus menyediakan seperangkat alat berupa VR ke penonton-penonton, syukur-syukur kalau penonton itu sendiri mampu dan mau membeli alat ini. Entah, mungkin sudah ada kelompok-kelompok pertunjukan yang sudah menggunakan metode ini, kalau pun ada saya berasumsi bahwa pasti tidak banyak (kecuali si Barat sudah mengusung trend ini).

Dari itu semua saya memiliki ketakutan saya secara pribadi, yaitu: penyaji tidak lagi sibuk menciptakan esensi dan estetika pertunjukan, malahan sibuk memperbaharui device, semakin mahal semakin, oke! (kompetitif jadi komparatif).

Dulu, daring itu konsep

"Sekarang, jadi resep kayaknya", Dulu saya sangat asing dengan konsep-konsep pertunjukan yang sedikit beda. Waktu itu (sebelum kawanan covid menyerang) saya menyaksikan pertunjukan teater oleh kelompok Belajar Teater Samarinda yang menyajikan pertunjukan secara live melalui instagram live, dan pertunjukan teater multimedia yang digarap oleh Yayasan Lanjong Kutai Kertanegara, waktu itu Mas Citul yang menggarap.

Sulit sekali menerima dan bahkan merasakan secara empiris peristiwa kesenian yang disajikan, sehingga saya membuang jauh-jauh keinginan untuk menjadikannya sebuah pembelajaran baru dalam seni pertunjukan. Tetapi, sekarang? Hampir setiap pertunjukan ditawarkan dengan konsep daring. Terlalu jauh sepertinya kalau sampai membahas konsep pertunjukan kesenian daring, kita ambil contoh webinar ala-ala akademisi yang dilaksanakan secara daring, tidak asik!.

Dalam tulisan ini, sepertinya saya terkesan lebih mengarah kepada ketidaksukaan saya terhadap pertunjukan kesenian yang bersifat daring. Tapi saya juga tidak bisa seenaknya untuk egois dalam hal ini, bisa saja ada sebagian penikmat kesenian yang senang dengan sistem pertunjukan daring, semua kembali kepada selera masing-masing.

Hanya saja, kita sama-sama harus menyadari gelombang atau babak baru pertunjukan kesenian, sikap dan tindakan kita sebagai pelaku seni harus benar-benar dipertimbangkan secara matang pada wilayah bagaimana kita bisa tetap mempertahankan estetika dan esensi pertunjukan kita di samping memikirkan medium berkesenian kita yang telah berpindah.

Sejatinya, kesenian adalah suatu hal yang sangat kompleks, dalam praktik pertunjukan kesenian pun telah mengalami perubahan dari masa ke masa. Tentu, pertunjukan kesenian pada era Yunani menuju era kekinian sudah berbeda, tapi babak baru yang akan datang kali ini akan sedikit lebih menantang dan seharusnya semakin menambah daya pikir si penyaji dan si penikmat kesenian itu sendiri dalam merefleksikan, menginterpretasikan suatu bentuk kesenian itu sendiri.

Kita harus mempersiapkan diri kita, entah itu penyaji atau penikmat pertunjukan kesenian dalam menghadapi pertunjukan kesenian yang telah memasuki babak baru. Saya bisa membayangkan, ruang-ruang kolektif yang mempertemukan penampil dan penonton akan semakin jarang dan justru ruang-ruang pertunjukan berpindah ke dalam gawai yang kita miliki.

Pertunjukan musik yang sering kita saksikan di kafe-kafe atau tempat hiburan akan berpindah ke dalam Youtube, IG TV, dan platform lainnya yang sekiranya mendukung. Kenyataan kita sehari-hari akan dihadapkan pada kenyataan yang pantas-pantasan saja, bertemu orang sambil memakai masker, senyum sapa pun tidak kelihatan dan malah menambah gesture menunduk untuk ‘kelihatan’ menyapa.

Dalam tulisan ini saya mengerucutkan pembahasan babak baru pertunjukan kesenian, dan sepertinya bukan saja kesenian yang akan menyesuaikan babak barunya, bahkan semua aspek kehidupan kita. Sejatinya, siapa yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan jaman maka sewaktu-waktu jaman itu yang memakan kita hidup-hidup. Saya teringat dengan kutipan dialog dalam pementasan Blur #1 yang digarap oleh kawan-kawan Yayasan Lanjong Kutai Kertanegara yaitu: “Setiap jaman ada orangnya, setiap orang ada jamannya”, begitulah kira-kira babak baru yang pelan-pelan kita akan hadapi ini. Kita akan menjadi produk jaman baru, dan kita adalah produk-produk yang dihasilkan.

Hmmm, kalau dipikir-pikir kita ini bukan generasi X, Y, atau Z, melainkan sebuah generasi yang pelan-pelan menggeser ruang kenyataannya ke ruang-ruang maya. Semoga sih ini stop sebagai asumsi belaka, aamiin.



Ditulis oleh Herman Mansa, bagian dari tim Media Komunitas Swara Art, seseorang yang mulai aktif berksenian pada tahun 2011 pada seni teater khususnya Teater Suara Bontang di SMAN 2 Bontang, kemudian melanjutkan studi Sastra Indonesia di Universitas Mulawarman dan aktif bermain teater bersama UKM Teater MAHIB'e.


Komentar

  1. Aku jadi teringat kata-kata Alan dundles, folklorist "setiap zaman akan melahirkan legendanya masing-masing"

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer