BABAK BARU PERTUNJUKAN KESENIAN
"Kenyataan
semakin eman dan daring semakin menggiring". Mungkin begitulah
kalimat yang tepat menggambarkan pola kehidupan manusia di tengah pandemi yang
sedikit sekali yang tahu namanya sudah berubah menjadi "pagebluk".
Tapi, bukan perubahan kata yang akan coba saya ulik dalam celoteh kali ini.
Saya lebih tertarik membicarakan pertunjukan kesenian yang saat ini saya nilai
sedang pelan-pelan memasuki babak baru. Kok, bisa memasuki babak baru?.
Sekilas
seperti biasa saja buat kamu-kamu yang tengah menikmati berbagai suguhan
pertunjukan via daring. Kemudahan dan efisiensi tengah ditawarkan dunia
pertunjukan saat ini, bagaimana tidak? Dengan bersantai ria di atas kasur atau
sofa kesayanganmu sambil buka media sosial tidak jarang kamu menemukan
pementasan kesenian yang sifatnya daring, tautan sudah disediakan dan kamu
sudah dengan mudahnya menyaksikan pertunjukan tersebut (tentunya ada yang
berbayar dan gratis).
Tapi,
perlu diketahui-pastinya, betapa rumitnya pelaku seni berusaha mengikhlaskan
dan memaksakan diri untuk melakukan pertunjukan daring ini (ini menurut saya
pribadi). Pertunjukan kesenian sejatinya adalah sebuah pertunjukan yang
melibatkan si penyaji dan si penikmat di suatu tempat yang sama, bangunan atmosfir
pertunjukan turut mempengaruhi penonton lewat sajian-sajian spektakulernya.
Tapi, apakah dengan berpindah medium dari luring ke daring juga menciptakan
atmosfir yang sama, di sini jelas saya mengatakan, tidak.
Seolah-olah tidak ada pilihan lain
Bisa
saja, pertunjukan kesenian secara langsung diadakan dengan menerapkan protokol
kesehatan yang dianjurkan oleh pemerintah. Tetapi, faktanya aktivitas yang
bersifat 'akbar' mengalami pembatasan. Sebagai contoh, di Samarinda mulai
diterapkan jam malam (bukan jam shift satpam loh ya), jadi aktivitas warga
dibatasi sampai jam 10 malam saja, kecuali malam minggu agak sedikit molor
sampai jam 11 (virus juga paham hari libur).
Kalau
pun pertunjukan kesenian secara langsung diadakan, justru hal ini sangat sulit
diterapkan di Samarinda. Menurut pengalaman, biasanya ketika salah satu
kelompok pertunjukan mengadakan pentas dan mengharapkan penonton untuk datang
lebih cepat dari waktu pertunjukan, hasilnya pasti 'nihil besar', sebagian
penonton pasti dengan 'santuy' datang
lebih telat dari yang dijadwalkan, lalu mampukah pertunjukan secara langsung
ini diterapkan saat ini?, jelas saya mengatakan, "tidak efektif".
Asumsi
saya pribadi mengatakan bahwa atmosfir berkesenian di Samarinda selain
ditentukan oleh pergerakan seniman-seniman yang ada di Samarinda-juga turut
dipengaruhi oleh antusiasme penikmatnya dalam mengapresiasi kesenian tersebut. Tidak
perlu mengapresiasi dalam bentuk pujian atau kritikan, turut dengan datang tepat
waktu saja, itu sudah syukur, lalu bagaimana dengan model pertunjukan daring
ini ?, panitia pelaksana pertunjukan selain memikirkan ketepatan waktu
pertunjukan, tentu juga harus mempersiapkan hal-hal teknis di samping ketepatan
waktu dimulainya sajian pertunjukan bukan ?.
Tidak
ada pilihan lain, pertunjukan secara daring adalah opsi yang paling tepat untuk
saat ini. Terlepas entah pertunjukan itu secara live atau non-live, tergantung
pada pilihan-pilihan si penyaji itu sendiri (kalau-kalau ada solusi lain untuk
berdamai dengan babak baru ini, justru akan sangat bagus).
Dulunya
si penyaji sibuk mengatur konsep di lokasi pertunjukan agar gagasan demi
gagasan tercapai di lapangan dan memuaskan rasa penasaran penonton, sekarang,
justru penyaji sibuk mengatur konsep teknis kamera, jaringan internet, hasil
audio di video, bagus-bagusan aplikasi editing video dan segala tetek
bengeknya. Sampai-sampai saya dan juga teman-teman berpikir bagaimana kalau
kita memanfaatkan metode VR untuk pertunjukan live?, tentu kamu-kamu pernah
merasakan sensasi VR kan?. Dengan mengupload video pertunjukan di kanal Youtube
dan mengaturnya dengan sedemikian rupa agar dapat ditonton menggunakan
teknologi VR, mungkin agak sedikit menambah solusi. Tetapi, metode VR bukan
metode yang membutuhkan biaya yang sedikit, justru akan sedikit lebih mahal
tentunya, karena harus menyediakan seperangkat alat berupa VR ke
penonton-penonton, syukur-syukur kalau penonton itu sendiri mampu dan mau
membeli alat ini. Entah, mungkin sudah ada kelompok-kelompok pertunjukan yang
sudah menggunakan metode ini, kalau pun ada saya berasumsi bahwa pasti tidak
banyak (kecuali si Barat sudah mengusung trend ini).
Dari
itu semua saya memiliki ketakutan saya secara pribadi, yaitu: penyaji tidak
lagi sibuk menciptakan esensi dan estetika pertunjukan, malahan sibuk
memperbaharui device, semakin mahal semakin, oke! (kompetitif jadi komparatif).
Dulu, daring itu konsep
"Sekarang,
jadi resep kayaknya", Dulu saya
sangat asing dengan konsep-konsep pertunjukan yang sedikit beda. Waktu itu
(sebelum kawanan covid menyerang) saya menyaksikan pertunjukan teater oleh
kelompok Belajar Teater Samarinda yang menyajikan pertunjukan secara live
melalui instagram live, dan
pertunjukan teater multimedia yang digarap oleh Yayasan Lanjong Kutai
Kertanegara, waktu itu Mas Citul yang menggarap.
Sulit
sekali menerima dan bahkan merasakan secara empiris peristiwa kesenian yang
disajikan, sehingga saya membuang jauh-jauh keinginan untuk menjadikannya
sebuah pembelajaran baru dalam seni pertunjukan. Tetapi, sekarang? Hampir
setiap pertunjukan ditawarkan dengan konsep daring. Terlalu jauh sepertinya
kalau sampai membahas konsep pertunjukan kesenian daring, kita ambil contoh
webinar ala-ala akademisi yang dilaksanakan secara daring, tidak asik!.
Dalam
tulisan ini, sepertinya saya terkesan lebih mengarah kepada ketidaksukaan saya
terhadap pertunjukan kesenian yang bersifat daring. Tapi saya juga tidak bisa
seenaknya untuk egois dalam hal ini, bisa saja ada sebagian penikmat kesenian
yang senang dengan sistem pertunjukan daring, semua kembali kepada selera
masing-masing.
Hanya
saja, kita sama-sama harus menyadari gelombang atau babak baru pertunjukan
kesenian, sikap dan tindakan kita sebagai pelaku seni harus benar-benar
dipertimbangkan secara matang pada wilayah bagaimana kita bisa tetap
mempertahankan estetika dan esensi pertunjukan kita di samping memikirkan
medium berkesenian kita yang telah berpindah.
Sejatinya,
kesenian adalah suatu hal yang sangat kompleks, dalam praktik pertunjukan
kesenian pun telah mengalami perubahan dari masa ke masa. Tentu, pertunjukan
kesenian pada era Yunani menuju era kekinian sudah berbeda, tapi babak baru
yang akan datang kali ini akan sedikit lebih menantang dan seharusnya semakin
menambah daya pikir si penyaji dan si penikmat kesenian itu sendiri dalam
merefleksikan, menginterpretasikan suatu bentuk kesenian itu sendiri.
Kita
harus mempersiapkan diri kita, entah itu penyaji atau penikmat pertunjukan
kesenian dalam menghadapi pertunjukan kesenian yang telah memasuki babak baru.
Saya bisa membayangkan, ruang-ruang kolektif yang mempertemukan penampil dan
penonton akan semakin jarang dan justru ruang-ruang pertunjukan berpindah ke
dalam gawai yang kita miliki.
Pertunjukan
musik yang sering kita saksikan di kafe-kafe atau tempat hiburan akan berpindah
ke dalam Youtube, IG TV, dan platform lainnya yang sekiranya mendukung.
Kenyataan kita sehari-hari akan dihadapkan pada kenyataan yang pantas-pantasan
saja, bertemu orang sambil memakai masker, senyum sapa pun tidak kelihatan dan
malah menambah gesture menunduk untuk ‘kelihatan’ menyapa.
Dalam
tulisan ini saya mengerucutkan pembahasan babak baru pertunjukan kesenian, dan
sepertinya bukan saja kesenian yang akan menyesuaikan babak barunya, bahkan
semua aspek kehidupan kita. Sejatinya, siapa yang tidak dapat menyesuaikan diri
dengan jaman maka sewaktu-waktu jaman itu yang memakan kita hidup-hidup. Saya
teringat dengan kutipan dialog dalam pementasan Blur #1 yang digarap oleh
kawan-kawan Yayasan Lanjong Kutai Kertanegara yaitu: “Setiap jaman ada orangnya,
setiap orang ada jamannya”, begitulah kira-kira babak baru yang pelan-pelan
kita akan hadapi ini. Kita akan menjadi produk jaman baru, dan kita adalah
produk-produk yang dihasilkan.
Hmmm,
kalau dipikir-pikir kita ini bukan generasi X, Y, atau Z, melainkan sebuah
generasi yang pelan-pelan menggeser ruang kenyataannya ke ruang-ruang maya.
Semoga sih ini stop sebagai asumsi belaka, aamiin.
Ditulis oleh Herman Mansa, bagian dari tim Media Komunitas Swara Art, seseorang yang mulai aktif berksenian pada tahun 2011 pada seni teater khususnya Teater Suara Bontang di SMAN 2 Bontang, kemudian melanjutkan studi Sastra Indonesia di Universitas Mulawarman dan aktif bermain teater bersama UKM Teater MAHIB'e.
Aku jadi teringat kata-kata Alan dundles, folklorist "setiap zaman akan melahirkan legendanya masing-masing"
BalasHapus